Pola pengobatan yang tidak rasional (Irrational Use of Drug atau
IRUD) semakin banyak terjadi. Bentuknya bisa berupa polifarmasi
-pemberian beberapa obat sekaligus yang tidak perlu- pemberian
antibiotik dan steroid yang berlebihan, mengutamakan obat non-generik
untuk mengambil keuntungan, juga obat-obatan yang pemakaiannya di luar
indikasi resmi (off label use).
Contohnya pemberian suplemen, vitamin, antihistamin untuk pilek atau
flu, obat pelonggar saluran pernapasan untuk batuk pada infeksi saluran
pernapasan atas, dan sebagainya yang belum tentu dibutuhkan. Hal ini
disampaikan Dr Purnamawati S. Pudjiarto, SpAk, MMPed, dokter anak dan
duta World Alliance for Patient Safety dari WHO (World Health
Organization) untuk penggunaan obat rasional, dalam sebuah seminar di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Kemang Medical Care, Jakarta, belum lama ini.
Ironisnya, pengobatan semacam ini sering tidak disadari dan terjadi
hampir setiap hari dalam kehidupan kita. Padahal Dr Marius Widjajarta,
SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) di
Jakarta, mengatakan, pola pengobatan tidak rasional yang dilakukan oknum
dokter untuk mengambil keuntungan dari pasien, bisa dikategorikan
sebagai kejahatan.
Dalam kehidupan sehari-hari
Simak pengalaman Medina (29 tahun, bukan nama sebenarnya), dari
Cipete, Jakarta Selatan. Setiap kali membawa anaknya berobat, dokter
selalu memberinya segepok obat.
Kali ini Rifki (3 tahun, anaknya) terserang diare. Selain diberi obat
untuk menghentikan mencret, dokter juga meresepkan obat antimual,
antikembung, suplemen untuk meningkatkan nafsu makan, imunomodulator
untuk meningkatkan kekebalan tubuh, beberapa botol cairan elektrolit,
dan probiotik atau bakteri baik,” tutur Madina, saat dijumpai di salah
satu rumah sakit swasta di Jakarta. Karena obat-obatan itu bukan obat
generik, maka ia harus menebus 7 jenis obat itu seharga ratusan ribu
rupiah.
Padahal, obat-obat itu tidak diperlukan. “Penyakit harian seperti
diare, batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya
tidak perlu obat,” kata Dr Purnamawati. Sebab, kata dokter yang akrab
disapa Wati ini, penyebabnya adalah virus dan akan sembuh sendiri dengan
istirahat. Kalaupun perlu obat, biasanya tidak lebih dari 2 jenis.
Wajar bila pasien yang langganan ke dokter jadi menyimpan
berkotak-kotak obat di rumahnya, karena merasa sayang bila obat-obat
mahal itu dibuang. Akibatnya, saat ada anggota keluarga lain yang
mengalami gejala serupa, obat itu diberikan juga. Hal semacam itu sering
dilakoni Mahardiani (27 tahun), dari Semarang. “Yah… biar bermanfaat
saja. Daripada pergi ke dokter, nanti juga dapat setumpuk obat dan
sisa-sisa lagi, pemborosan,” begitu alasannya.
Padahal, memberikan obat untuk orang lain sama sekali tidak
dibenarkan. Kondisi setiap orang berbeda, sehingga meskipun gejalanya
sama, dosis dan penanganan yang diperlukan belum tentu sama.
Akibatnya bisa fatal
Meresepkan obat yang tidak perlu pun akhirnya menimbulkan lingkaran
setan. Selain merugikan pasien secara ekonomi, kesehatan pasien juga
dipertaruhkan. Dr Wati menjelaskan, sebagian besar obat tidak larut
dalam air sehingga perlu diproses di dalam organ hati sehingga
penggunaan obat yang terlalu banyak dan tidak tepat, bisa mengganggu
fungsi hati. “Selain itu, ginjal juga akan kesulitan mengeluarkan
zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh,” jelasnya.
Celakanya lagi, obat-obat yang beredar di pasaran, banyak yang dosis
per-satuan tablet atau kapsulnya terlalu besar. “Keadaan ini berisiko
menyebabkan efek samping dan kadang-kadang berakhir dengan kematian,”
tambah Prof Dr Iwan Darmansjah, MD, ahli farmakologi dan Guru Besar
Emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Karena banjir obat
Pemberian obat yang tidak tepat memang bukan hal baru. Secara garis besar, hal ini disebabkan oleh dua faktor:
Pertama, membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat
besar. Di Indonesia, jumlah obat yang terdaftar mencapai sekitar 20.000
jenis (dari 200 pabrik farmasi), banyak di antaranya merupakan produk
yang sama. Hal ini menyebabkan dokter sulit menentukan obat yang paling
baik, ditinjau dari segi harga dan efektivitasnya (cost effective).
Keadaan ini diperparah lagi dengan lemahnya pemerintah dalam
menegakkan peraturan. “Termasuk, tidak berlakunya strategi mengenai
pendaftaran obat yang benar-benar efektif dan aman. Banyak obat yang
tidak efektif dibiarkan beredar. Buku Daftar Obat Esensial Nasional yang
direvisi setiap 3 tahun dan berisi daftar obat yang paling bermanfaat
juga tidak disosialisasikan secara luas. Dari jumlah 50.000 eksemplar
buku yang dijanjikan Depkes, hingga saat ini yang dicetak baru sekitar
500 eksemplar. Padahal, buku ini seharusnya menjadi panduan untuk semua
dokter di seluruh Indonesia dalam menentukan obat yang efektif dan
aman,” demikian penjelasan Prof Iwan, Ketua Panitia Obat Esensial
Nasional dan mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan
ini dengan kesal.
Kedua, pertimbangan dokter dalam menentukan obat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk setiap jenis obat yang
diresepkan, dokter dapat menerima komisi dari perusahaan farmasi yang
bersangkutan.
Menurut Prof Iwan, hal ini menyebabkan peresepan obat menjadi tidak
obyektif. “Proses memilih obat tidak lagi berdasarkan integritas
intelektual dan hati nurani, melainkan pertimbangan materi semata,”
katanya.
Pasien juga berperan
Meskipun demikian, pemberian obat yang tidak perlu juga bisa
disebabkan oleh pasien itu sendiri. Raharja (bukan nama sebenarnya),
dokter umum yang berpraktik di sebuah rumah sakit pemerintah di
Yogyakarta, mengakui banyak pasiennya yang meminta resep antibiotik atau
suplemen, padahal tidak memerlukannya.
Hal ini dibenarkan Dr Wati, yang menganggap sikap pasien tersebut
umumnya disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap informasi seputar
obat. “Sayangnya, salah kaprah tersebut seolah diamini oleh tenaga
medis. Padahal sudah seharusnya informasi yang benar digencarkan untuk
mencerdaskan pasien,” sesalnya.
Beberapa salah kaprah yang paling sering terjadi antara lain:
1. Pasrah sepenuhnya pada dokter
Dalam keadaan sakit dan galau, umumnya pasien pasrah saja pada
tindakan dokter. Sebab lainnya, pasien juga menganggap dokter sangat
memahami obat-obatan. Kenyataannya? “Dokter juga manusia! Bisa mempunyai
banyak kekurangan dan berbuat salah. Apalagi, kemajuan ilmu kedokteran
dan obat-obatan terjadi sangat pesat. Misalnya, obat yang di luar negeri
sudah tidak diberikan, namun karena dokter tidak selalu up to date
dengan informasi, bisa saja tetap meresepkan obat tersebut pada pasien,”
tandas Dr Wati.
2. Antibiotik adalah obat dewa
Antibiotik sangat berperan memerangi penyakit yang disebabkan
bakteri. Ironisnya, banyak pasien mendapat (dan meminta!) antibiotik
ketika demam, radang tenggorokan, dan diare, yang disebabkan virus.
Sebabnya, masih banyak dokter yang berpikir dalam keadaan demikian
antibiotik tetap perlu diberikan supaya penyakitnya cepat sembuh, atau
untuk berjaga-jaga terhadap infeksi tambahan (yang belum tentu terjadi).
Secara tidak langsung, kebiasaan ini membuat pasien ikut tersugesti
bahwa antibiotik adalah “obat dewa”, sehingga sering menagih dokter bila
tidak diresepkan.
3. Suntik supaya lebih cespleng
Di negara berkembang, persentase pemberian obat suntik (yang
semestinya bisa diberikan secara oral) berkisar antara 20 sampai 76
persen. Padahal selama masih bisa diberikan secara oral, obat suntik
tidak diperlukan. Selain menimbulkan rasa sakit dan biayanya lebih
mahal, obat suntik meningkatkan risiko efek samping obat dan
memungkinkan masuknya bakteria saat proses penyuntikan.
4. Puyer untuk penyakit “langganan” anak-anak
Puyer sepertinya sudah identik sebagai obat anak, sehingga banyak
orangtua menganggap, untuk penyakit harian seperti batuk, pilek, flu,
dan demam pun anak perlu puyer. Pemahaman inilah yang salah. “Komposisi
puyer yang menggabungkan beberapa jenis obat sekaligus terlalu
berlebihan. Apalagi, untuk penyakit harian yang tidak perlu obat,” kata
Dr Wati. Pemberian puyer sendiri masih pro-kontra, sehingga
memanfaatkannya pun harus ekstra hati-hati (lihat: Pro kontra puyer,
bagaimana menyikapinya?).
5. Obat mahal lebih berkualitas
Tidak dipungkiri, masih banyak pasien beranggapan bahwa kualitas obat
sebanding dengan harganya. Akibatnya, ketika dokter memberi resep obat
yang harganya jauh lebih mahal dari obat generik, mereka tidak
keberatan. Sebagian di antaranya, bahkan merasa lebih mantap bila diberi
obat mahal karena menganggap obat itu adalah obat paten.
Padahal, menurut Dr Marius, obat yang disebut obat paten oleh oknum
dokter itu sering berupa obat generik yang diberi label. “Misalnya
antibiotik generik bernama amoxicillin, bila diproduksi pabrik “Tuti”
dengan kandungan yang sama, namanya menjadi “Tuticilin” yang dijual 40
sampai 80 kali lipat lebih mahal dari obat generik,” demikian penjelasan
Dr Marius, yang menilai bahwa ketidakjujuran oknum dokter dalam
meresepkan obat generik berlabel merupakan faktor utama penyebab salah
kaprah ini.
6. Berobat = mendapat resep obat
Tidak sedikit pasien yang menganggap bahwa konsultasi medis merupakan
kunjungan berobat alias upaya meminta obat. Sehingga ada perasaan
kecewa, seandainya kunjungan ke dokter hanya berakhir pada diskusi atau
anjuran untuk istirahat.
Anggapan ini salah besar. Dr Wati mengatakan, konsultasi medis
sebenarnya merupakan perundingan antara dokter dan pasien untuk mencari
penyebab terjadinya penyakit (diagnosa) dan menentukan cara
mengobatinya. “Konsultasi itu tidak harus berujung pada secarik resep,
karena terapi yang diperlukan sangat bergantung pada observasi selama
konsultasi,” tutur Dr Wati.
Pengobatan rasional, seperti apa?
Oleh sebab itu, pasien harus memahami benar prinsip-prinsip
pengobatan yang baik dan benar (rational use of drug). Kriterianya
antara lain obat yang diberikan oleh dokter harus sesuai dengan diagnosa
penyakit, dikonsumsi secara tepat, dosisnya tepat, jangka waktu
pemberiannya tepat, harganya semurah mungkin, dan disertai pemberian
informasi yang obyektif. Tujuannya, agar pasien tahu mengapa ia mendapat
obat tersebut, apa manfaatnya, dan apa yang harus dilakukan agar obat
tersebut berkhasiat secara efektif dan aman.
Tujuan itu dapat tercapai, bila dokter mengobservasi pasiennya secara
kritis dan maksimal. Melalui pemeriksaan fisik dan tanya-jawab yang
detil dan mendalam, dokter bisa menemukan penyebab penyakit untuk
menentukan diagnosa. Diagnosa inilah yang sangat menentukan langkah
terapi selanjutnya; apakah masih perlu pemeriksaan penunjang (cek
laboratorium), perlu diberi obat atau tidak, juga tindakan yang lebih
serius.
Bila memang tidak diperlukan, dokter tidak boleh meresepkan obat
walaupun hanya berupa suplemen atau imunomodulator dengan dalih
menguatkan imunitas tubuh. Sementara bila diagnosa menyatakan bahwa
pasien memerlukannya, dari ribuan obat yang ada dokter harus menentukan
obat mana yang paling efektif, aman, murah, dan mudah diberikan.
Selanjutnya, dalam memberi resep, dokter harus memberi penjelasan
pada pasien mengenai manfaat, petunjuk mengkonsumsi, kontraindikasi,
serta tindakan yang harus dilakukan seandainya terjadi reaksi efek
samping.
Anda pernah diminta check-up? Bersyukurlah, karena itu menjadi metode
dokter dalam menilai terapi sebelumnya dan menyimpulkan hasilnya. Bila
penyakit masih hinggap, dokter harus meninjau kembali diagnosa yang
ditentukan sebelumnya. Sementara itu, kepatuhan pasien dalam menjalani
terapi juga harus dievaluasi.
Trik menghadapi dokter
Kesannya memang repot. Tapi itulah harga yang harus dibayar demi
kesehatan. Sayangnya, sekarang dokter yang mau menjalankan prosedur
sedetil ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dengan alasan banyak
pasien, waktu konsultasi yang seharusnya menjadi poin utama dalam
menentukan diagnosa justru sama sekali tidak tercukupi. Kendala lain,
komunikasi pasien dan dokter macet karena dokter bersikap diam, sehingga
pasien merasa segan.
Lalu bagaimana cara menyiasatinya? Dr Marius mengingatkan, bahwa
kedudukan pasien sebenarnya sama seperti konsumen. Sehingga sebelum
membayar suatu barang atau jasa, pasien harus bersikap kritis. “Sebagai
pasien, Anda tidak harus selalu menerima atau puas dengan apa yang
dilakukan dokter.
Seperti membeli barang, Anda juga berhak mengetahui banyak hal sebelum membawa pulang obat. Garis besarnya antara lain:
- Tanyakan diagnosa penyakit dalam istilah kedokteran, supaya Anda
bisa mencari tambahan informasi yang akurat. Diagnosa dalam istilah awam
sering rancu, sehingga sulit untuk mengetahui terapi apa yang
benar-benar diperlukan.
- Minta penjelasan mengenai apa penyebab penyakit, apa yang harus
dilakukan, mengapa harus dilakukan, kapan harus cemas, dan sebagainya.
- Beritahu dokter bila sedang mengkonsumsi obat lain, menderita suatu
penyakit, mengkonsumsi produk herba, suplemen, atau sedang menjalani
terapi lain. Semuanya bisa saja berinteraksi dengan obat yang akan
diberikan dokter. Jangan pernah malu untuk meminta obat generik.
- Saat dokter memberi resep, perhatikan tulisannya. Bila sulit dibaca,
minta dengan sopan agar dokter menjelaskan obat yang dianjurkan
tersebut satu per satu, meliputi apakah Anda memang memerlukan obat
tersebut, apa kandungan aktifnya, bagaimana mekanisme kerjanya, indikasi
dan kontra indikasi, serta efek samping dan cara mencegahnya. Dan bila
perlu, minta dokter untuk menulis kembali.
- Hitung jumlah obat yang diresepkan dokter, termasuk jumlah yang ada
di dalam puyer. Semakin panjang deretan obat yang diresepkan, Anda harus
semakin waspada.
- Bila perlu, konsultasikan lagi isi resep tersebut pada apoteker.
Simpan resep setelah ditebus. Memiliki kopi resep sangat bermanfaat
bilamana terjadi reaksi alergi atau efek samping obat.
Supaya langkah-langkah tersebut bisa berjalan dengan mudah, mungkin
trik ala Rina Dewi (34 tahun) berikut ini bisa dicoba. “Sebelum periksa
ke dokter, carilah informasi dari internet, koran, buku, dan majalah
mengenai gejala penyakit yang diderita. Catat hal-hal penting di
dalamnya, atau bawa majalah itu ke dokter. Di sana, Anda bisa berdiskusi
dengan membahas informasi tersebut. Dengan begitu, pembicaraan bisa
mengalir lebih lancar. Dokter yang “nakal” juga akan berpikir dua kali
jika pasiennya kritis dan punya informasi yang up to date,” jelas Rina,
yang mengaku selalu puas berdiskusi dengan dokter setelah menerapkan
trik ini.
Lalu bagaimana kalau langkah ini tidak berhasil? “Saya pernah mencoba
usaha itu, tapi dokternya malah marah-marah karena merasa tidak
dipercaya,” kata Medina. Bertemu dokter semacam ini, Dr Marius
menyarankan untuk tak perlu ragu mencari dokter lain yang lebih terbuka.
“Perlu diingat sekali lagi, bahwa sebagai pasien Anda berhak
mendapatkan layanan yang terbaik. Jadi kalau keterangan mengenai apa
yang hendak dibayar tidak memuaskan, ya.. cari yang lainnya saja!
Mengacu pada Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999
(pasal 4), Anda berhak memilih jasa yang sudah dibayar mahal. Kalau
memang bisa mendapatkan yang terbaik, untuk apa mempertaruhkan nyawa
hanya karena merasa segan? (N)
Obat Rasional, Kuncinya Dokter
Untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas, berkarakter, dan
rasional, seharusnya pasien, dokter, dan pemerintah mutlak harus
berperan aktif.
Selama ini, pemerintah sudah mengatur kebijakan obat nasional, namun
bukti nyatanya belum tampak. Dr Marius menghimbau pemerintah untuk
memantapkan peraturan-peraturan obat dan memberi sangsi yang tegas
terhadap segala bentuk pelanggarannya.
Beberapa sistem tampaknya sudah mendesak untuk dibenahi. Seperti
sistem pembayaran kesehatan dari kantong sendiri – yang memberi peluang
terhadap permainan harga obat dan praktik polifarmasi – sebaiknya secara
bertahap diubah menjadi sistem asuransi. Dengan demikian, peluang
permainan harga menjadi lebih sempit dan oknum dokter yang nakal akan
diblacklist oleh perusahaan asuransi.
Selain itu, sudah saatnya Depkes dan POM bekerjasama melakukan
evaluasi obat, dan daftar obat esensial yang sudah dirumuskan sebaiknya
segera disosialisasikan secara merata kepada semua dokter yang tersebar
di seluruh penjuru Nusantara.
“Yang lebih penting lagi, tetapkan harga obat generik yang bermerek.
Atur berapa harga maksimalnya, sehingga sektor swasta tidak lagi bebas
menaikkan harga obat hingga puluhan kali lipat. Penetapan harga obat
tersebut, akan membuat perusahaan farmasi tidak lagi jor-joran dalam
memberi komisi pada oknum dokter. Dengan demikian, penentuan obat yang
lebih berpihak pada pertimbangan material bisa ditekan,” tutur Dr
Marius.
Sebenarnya, kunci obat rasional adalah dokter karena merekalah yang
berperan memutuskan obat mana dan apa saja yang perlu diberikan pada
pasien. Oleh sebab itu, diharapkan dokter terus memperbarui ilmunya dan
mengikuti perkembangan isu di bidangnya. ” Tak lupa, juga memberi
informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan pada pasien,” Dr
Marius menambahkan.
Pro Kontra Puyer, Bagaimana Menyikapinya
Saking populernya, sebagian kalangan menganggap puyer sebagai tradisi
yang tak terpisahkan dalam dunia kedokteran di Indonesia. Namun
belakangan ini, pro-kontra peresepan puyer semakin meruncing.
Mengutip Pusat Data dan Informasi Persi, Prof Dr Rianto Setiabudi,
farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan
bahwa pemberian resep puyer untuk anak-anak yang hanya mengalami
gangguan kesehatan ringan termasuk bentuk pengobatan yang tidak
rasional.
Mengapa puyer ditentang
Ada beberapa sebab utama yang membuat puyer “dituduh” demikian.
Dilihat dari pembuatannya, meracik puyer dianggap tidak memenuhi standar
Cara Pembuatan Obat yang Benar (CPOB). Obat-obat yang diperlukan
ditimbang, digerus, dan dicampur dalam mortir. Setelah itu dibagi secara
merata ke dalam kertas pembungkus.
Cara ini, dinilai Prof Rianto tidak higienis. Saat menggerus, alur
dan mortir yang digunakan bisa saja tidak bersih, bahkan bekas meracik
resep obat sebelumnya. Jadi bukan hal yang mustahil, puyer tercampur
dengan sisa obat yang menempel pada mortir dari resep sebelumnya. Karena
tidak ditimbang, komposisi puyer yang dibagikan ke dalam kertas
pembungkus juga bisa tidak tercampur rata.
Selain itu, puyer biasanya mengkombinasikan beberapa jenis obat
sekaligus sehingga interaksi antar obat di dalam puyer pun
dipertanyakan. Prof Rianto juga menyoroti obat jadi yang digerus menjadi
bubuk, karena dapat merusak stabilitas obat. Contohnya, obat untuk
infeksi saluran pernapasan atas, yang dibuat sedemikian rupa agar
terlindung dari asam lambung (preparat lepas lambat).
Bila digerus menjadi puyer, obat itu akan kehilangan sifat lepas
lambatnya sehingga cepat hancur saat terkena asam lambung. Dengan
demikian, efek samping dan risiko keracunan obat menjadi meningkat.
Berhubung diracik dari beberapa bahan sekaligus, bila terjadi reaksi
yang tidak diinginkan, obat yang menyebabkan reaksi juga menjadi sulit
dideteksi.
Tolak ukurnya pada dosis
Sementara yang pro-puyer, beralasan bahwa alasan utama memilih puyer
dibandingkan obat jadi, adalah bahan dan dosisnya bisa disesuaikan
secara lebih tepat dengan kondisi pasien.
“Selama ini,” Prof Iwan menjelaskan, “Pabrik menginginkan hanya satu
bentuk dosis untuk semua orang di dunia. Namun kebijakan ini tidak bisa
diterima secara ilmiah. Setiap ras di dunia mempunyai perbedaan gen
dalam memproduksi enzim yang mengatur sifat absorpsi, metabolisme, dan
ekskresi obat-obat tertentu di dalam tubuh. Ambil contoh, di negara
Barat propranolol (obat hipertensi) diberi dalam dosis beberapa ratus
miligram mungkin tidak apa-apa. Namun pada pasien di Indonesia, dosis
ini bisa menghentikan denyut jantung.”
Bila selama ini puyer lebih sering diberikan untuk anak-anak, tentu
ada alasannya. Negara-negara produsen obat di Amerika, Eropa, dan Jepang
tidak cukup melakukan studi penentuan dosis obat jadi terutama untuk
anak-anak, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping, dan dosis
yang akurat sangat sulit ditemukan. “Celakanya lagi, di Indonesia
pencantuman dosis obat jadi, untuk dewasa dan anak-anak, dalam buku-buku
panduan pun (seperti MIMS) dilakukan dengan cara menyontek dosis anak
di negara produsen obat tadi,” Prof Iwan menuturkan.
Begitu juga dengan obat-obat yang banyak dipakai sejak tahun 1970-an,
seperti parasetamol, efedrin, CTM, dan kodein. Dosis CTM (obat jadi)
sebanyak 1 tablet terlalu besar, sehingga bisa membuat pasien tertidur
seharian.
Padahal untuk mendapatkan efektivitasnya, 1/2 tablet saja sudah
cukup. Banyak juga orang yang mengira bahwa berkeringat banyak setelah
minum parasetamol (obat penurun panas) adalah wajar. Bahkan, mengira itu
tanda obatnya mulai bekerja. “Padahal itu tanda overdosis,” tandas Prof
Iwan.
Itu sebabnya, para dokter yang menyadari fenomena ini merasa perlu
membuat racikan puyer yang dosisnya disesuaikan dengan kondisi anak.
Misalnya dengan menyesuaikan usia dan berat badannya.
“Proses pembuatan puyer mempunyai prosedur wajib SOP (Standart
Operating Procedure) yang harus dijalankan oleh tenaga farmasi. Antara
lain, obat yang digunakan tidak berasal dari obat yang tidak boleh
digerus (misalnya obat dalam bentuk “controlled release” seperti
Euphyllin Retard dan Glucotrol XL), dosisnya pas, kombinasi antara satu
bahan dengan bahan yang lainnya tidak menimbulkan reaksi negatif, dan
diberikan pada pasien sesuai kondisinya,” Prof Iwan menjelaskan.
Pasien yang menentukan
Sama seperti yang terjadi pada perusahaan obat, risiko human error
pada proses peracikan puyer selalu ada. Meskipun begitu, Prof Iwan
menilai bahwa memusuhi puyer hanya karena alasan itu pun tidak
bijaksana, karena dengan pertimbangan menyesuaikan dosis dengan kondisi
pasien, puyer tetap diperlukan.
Tentu saja, dokter yang meresepkan puyer harus paham benar;
berdasarkan diagnosa pasien, apakah pasien memang perlu puyer, bahan apa
saja yang perlu diresepkan, apa saja kombinasinya, mana yang boleh
digerus menjadi puyer dan yang tidak, berapa dosisnya, apakah sudah
tepat sasaran, dan lain sebagainya. Bila syarat-syarat itu terpenuhi,
puyer bisa dipertanggungjawabkan keakuratan, higinitas, efektivitas, dan
keamanannya.
Selama pemerintah belum mengambil sikap, pro-kontra puyer di kalangan
medis sendiri mungkin terus berlanjut. Yang penting, sebagai pasien
Anda mengetahui alasan mengapa puyer diperdebatkan.
Selanjutnya, jadikan alasan-alasan tersebut sebagai bahan
pertimbangan untuk memilih: mau obat jadi atau puyer, dengan melakukan
trik-trik menghadapi dokter di atas (lihat artikel) pastikan obat itu
benar-benar perlu dan aman!
Oleh: Dyah Pratitasari
dalam Laporan Khusus Majalah NIRMALA (edisi Februari 2009)